Selasa, 27 November 2012

Aqidah Syiah tentang Sifat-sifat Allah



Rafidhah (baca: syiah) adalah sekte yang pertama kali mengatakan bahwa Allah Azza wa jalla ber-jisim (bertubuh seperti tubuh makhluk). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus sunnah (1/20) mengatakan bahwa yang mempelopori tuduhan ini dari sekte Rafidhah adalah Hisham bin al-Hakam, Hisham bin Salim al-Juwailiqi, Yunus bin Abdurrahman al-Qummi, dan Abu Ja’far al-Ahwal (Lihat I’tiqadat Fairaqul Muslimin wal Musyrikin hal. 97).

Mereka ini adalah para tokoh syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang pada akhirnya mereka menjadi sekte jahmiyah yang meniadakan sifat bagi Allah Azza wa jalla. Sebagaimana riwayat-riwayat mereka mensifati Allah dengan sifat-sifat negatif, yang mereka kukuhkan sebagai sifat-sifat yang kekal bagi Allah.

Ibnu Babawaih telah meriwayatkan lebih dari tujuh puluh riwayat yang mengatakan, “Allah tidak disifati dengan waktu, tempat, tingkah, gerak, pindah, tidak disifati dengan sifat-sifat yang ada pada jisim, tidak berupa materi, jisim, dan bentuk.” (Lihat At-Tauhid Ibnu Babawaih hal. 57).

Mereka mengingkari turunnya Allah ke langit bumi, ditambah lagi perkataan mereka tentang al Qur’an bahwa ia adalah makhluk, dan mereka juga mengingkari akan melihat Allah di akhirat nanti.

Disebutkan dalam Biharul Anwar bahwa Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq perna ditanya, apakah Allah bisa dilihat pada hari kiamat? Maka ia menjawab, “Mahasuci Allah, dan Mahatinggi setinggi-tingginya, sesungguhnya mata tidak dapat melihat kecuali kepada benda yang memiliki warna dan berkondisi terntentu, sedangkan Allah Dzat yang menciptakan warna dan kondisi.”

Bahkan orang-orang syiah berkata, “Jika ada seseorang menisbatkan kepada Allah sebagian sifat, seperti Allah dapat dilihat, maka orang tadi dihukumi murtad (keluar dari agama), sebagaimana yang disinyalir oleh tokoh mereka Ja’far an-Najfi dalam Kasyful Githa hal. 417.

Ketahuilah sesungguhnya melihat Allah adalah hak, benar adanya, ditetapkan dalam al Quran dan as Sunnah yaitu melihat Allah dengan tak bisa dibayangkan dengan detail dan tak diperagakan, seperti firman-Nya :

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat.” (QS al-Qiyamah : 22-23)

Dalil dari as Sunnah bahwa Allah dapat dilihat di Hari Kiamat, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, beliau bersabda:

“Kami pernah duduk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau melihat bulan purnama pada malam empat belas, maka beliau bersabda: “Kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata kepala, sebagaimana mata kalian melihat bulan ini dan tidak bersusah-susah dalam melihat-Nya.”


*Disalin dari Kitab Min ‘Aqaidisy Syi’ah Karya Syaikh Abdullah bin Muhammad
Baca Selengkapnya »»  

Risalah untuk Pecinta Ahlul Bait 2




3.      Keuntungan pribadi apa yang diperoleh Abu Bakar dan Umar dari tampilnya mereka sebagai khalifah? Keduanya bahkan tidak membangun istana, tidak mewarisi harta, dan tidak pula menyerahkan khilafah setelahnya kepada anak keturunan, justru Umar menyerahkan urusan khilafah kepada enam dewan Syuro dari sahabat terkemuka dan beliau juga berwasiat untuk tidak menyerahkan khilafah kepada anak keturunan Al Khatthab selamanya.
4.      Umar menunjuk enam orang sebagai dewan Syuro sesudah dia meninggal, kemudian tiga orang diantaranya mengundurkan diri, lalu Abdurrahman bin Auf juga ikut mengundurkan diri, hingga tersisa Utsman dan Ali rodhiallau ‘anhum. Dari sini kenapa Ali tidak menyebutkan dari awal bahwa dia telah diberi wasiat untuk tampil sebagai khalifah, apakah dia takut pada seseorang sepeninggal Umar?
5.      Syiah tidak bisa meningkari bahwa Abu Bakar dan Umar telah berbaiat kepada Nabi di bawah pohon Ar Ridhwan, dan Allah telah merekomendasikan ridha-Nya terhadap mereka yang berbaiat pada saat itu. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Sungguh Allah telah meridhoi orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui di dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberikan balasan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18).
Apakah layak Syiah sekarang ini mengkufuri berita Allah dalam ayat tersebut dan justru berpendapat lain? Seakan-akan mereka berpendapat : “Wahai Rabb Engkau tidak mengetahui tentang mereka seperti yang kami ketahui.”
6.      Shalat adalah praktik rukun Islam yang paling agung, lalu kenapa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mempersilahkan Abu Bakar untuk mewakilinya sebagai imam shalat ketika beliau sedang sakit, padahal Ali ada? Kenapa Rasulullah lebih mengedepankan Abu Bakar daripada Ali padahal menurut keyakinan Syiah Ali adalah penerima wasiat khilafah Rasulullah? Dan jika Abu Bakar maju karena keinginannya sendiri, lalu kenapa Ali tidak mengingkari dan menyuruhnya mundur kemudian dia sendiri yang maju sebagai imam shalat dengan alasan adalah khalifah Rasulullah dan penerima mandate wasiat beliau?
7.      Setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tampuk khilafah dipegang oleh Abu Bakar, Umar, kemudian Utsman. Syiah menganggap mereka sesat, zhalim dan kafir, karena telah merampas hak Ahlul Bait. Namun faktanya Ali, Ammar, Salman dan al Miqdad shalat dibelakang mereka atau tidak? Apakah sah menurut Syiah shalat di belakang orang fasiq, apalagi musuh ahlul bait atau kafir?
8.      Penaklukan Islam di masa Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum begitu luar biasa, di bawah komando mereka Negara-negara adidaya telah mereka taklukan seperti Persia, Syam, Baitul Maqdis, Mesir, Afrika, hingga negeri Sindi dan lain sebagainya.
Pertanyaannya “Apakah semua jasa dan kiprah besar mereka dalam Islam dianggap sebagai kemenangan besar dari Allah atau tidak? Dan apakah orang yang memiliki peran sebesar itu ketika menjabat khalifah, dianggap sebagai orang yang paling rusak dan zhalim? Lalu bagaimana dengan tentara yang di bawah komando mereka?
Tidak terbantahkan lagi bahwa saat menjabat khalifah mereka adalah pemimpin yang memiliki kekuatan militer yang solid dengan pasukan yang selalu gigih berjuang di medan tempur dan patuh terhadap komando pemimpinnya. Dan syiah tidak boleh lupa bahwa dalam rombongan pasukan itu yang telah menaklukan berbagai macam negeri adalah Ali, Al Hasan dan Al Husain, Salman, Abu Dzar dan Ammar radhiallahu ‘anhum. Jika demikian lalu hukum apa yang pantas diberikan kepada pilar Islam ini?

*Disadur dari kitab Risalah ila muhibbi Ali al-Bait, ditulis oleh Tim Peneliti dan Kajian Dar al-Muntaqa
Baca Selengkapnya »»  

Risalah untuk Pecinta Ahlul Bait




Kami (penulis –red) menerbitkan risalah ini dengan judul “Risalah (catatan penting) kepada para pecinta ahlul bait” di mana kami ambil isinya dari sumber-sumber syiah terpercaya, karena pada dasarnya syiah juga sama dengan manusia lain, ada yang berakal sehat dan berfikir positif, masih mencintai kebaikan dan senang dengannya, sehingga jika kebaikan itu ditawarkan kepadanya dengan ijin Allah ia akan bisa menerimanya. Meski tidak bisa menampik fakta bahwa mayoritasnya adalah para Fanatis dan pengikut ekstrim yang lebih mengedepankan hawa nafsu daripada kebenaran, dia membekukan akal sehatnya demi perintah hawa nafsu untuk bertaklid buta kepada orang lain tanpa ada sedikitpun bashirah, ilmu, dan dalil dari Allah Azza wa jalla.

Berikut ini kami sajikan kepada Anda catatan penting dan poin inti dari risalah kami :

1.      Syiah menganggap bahwa tidak ada hubungan yang terjalin antara keluarga Nabi dengan para sahabat dan keluarga Quraisy lainnya selain daripada hubungan permusuhan, kebencian dan konflik belaka. Pernyataan itu termuat dalam kitab-kitab mereka (pembahasannya dalam artikel selanjutnya, insya Allah –red). Jika persepsi itu memang benar lalu apa inti di balik pemberian nama serta jalinan hubungan pernikahan antara keluarga Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya dan orang-orang sesudah mereka???

Ada di antara anak-cucu keturunan Ali bin Abi Thalib yang diberi nama dengan nama sahabat, terkhusus Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Thalhah. Ada yang bernama Abu Bakar bin Ali ada pula bernama Abu Bakar bin Al Hasan As Syahid, mereka gugur bersama Al Husain radhiallahu ‘anhu (Al Irsyad Al Mufid, hal 186 dan 248). Lalu Abu Bakar bin Al Hasan kedua bin Al Hasan cucu Nabi dan Abu Bakar bin Musa Al Kazhim.

Nama Umar banyak sekali dimiliki oleh keluarga Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, bahkan nama ini berlanjut hingga 18 generasi dari keturunan Al Hasan dan Al Husain. Di antara anak cucu tersebut adalah Umar Al Athraf bin Ali (Kasyful Ghummah fi Ma’rifatil A’immah 2/66), Umar bin Al Hasan bin Ali (dia terbunuh bersama Al Husain), Umar bin Husain Asy Syahid, Umar Al Asyraf bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain bin Ali, Umar bin Ali Al Ashghar bin Umar Al Asyraf bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain.

Utsman pun demikian, di antaranya Utsman bin Ali bin Abu Thalib (terbunuh bersama saudaranya Al Husain), lalu Utsman bin Yahya bin Sulaiman salah satu cucu Ali bin Al Husain rodhiallahu ‘anhum jami’an.

Kemudian nama Thalhah di Ahlul Bait adalah Thalhah bin Al Hasan cucu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu Thalhah bin Al Hasan ketiga bin Al Hasan kedua bin Al Hasan cucu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Nama Aisyah juga ada dalam Ahlul Bait, di antaranya Aisyah binti Al Imam Ja’far bin Musa Al Kazhim, Aisyah binti Ali Ar Ridha, Aisyah binti Ali Al Hadi, Aisyah binti Muhammad bin Al Hasan bin Ja’far bin Al Hasan kedua.

Bukankah mereka adalah Ahlul Bait yang harus menjadi teladan orang syiah di semua lini? Apakah mereka orang syiah berani memberi nama anak lelakinya Abu Bakar, Umar, atau Utsman, dan beranikah dia memberi nama anak perempuannya dengan Aisyah???
 
Pertalian hubungan pernikahan dan nasab juga terjalin antara Ahlul Bait dengan sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya Ummu Kaltsum binti Ali bin Abu Thalib menikah dengan Umar bin Khatthab (Al Kulaini dalam Al Kafi Fi Al Furu’ (6/115), At Thausi dalam Tahdziibul Ahkam Juz 8 Hal 148), Fathimah binti Ali bin Abu Thalib menikah dengan Al Mundzir bin Ubaidah bin Az Zubair, Sakinah binti Al Husain As Syahid menikah dengan Mush’ab bin Az Zubair, Ruqayyah binti Al Husain menikah dengan Amru bin Az Zubair, Fathimah binti Al Husain As Syahid dengan Abdullah bin Amru bin Utsman bin Affan, Ummul Hasan binti Al Hasan cucu Nabi menikah dengan Abdullah bin Az Zubair, Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib menikah dengan Hafshah binti Abdur Rahman bin Abu Bakar.

Al Hasan bin Ali menikah dengan Ummu Ishaq binti Thalhah bin Ubaidillah kemudian ketika Al Hasan meninggal dunia dia berwasiat kepada saudaranya Al Husain agar menikahi Ummu Ishaq setelahnya, hingga kemudian Al Husain menikahinya dan lahirlah Fathimah. Muhammad Al Baqir menikah dengan Ummu Farwah binti Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, hingga lahirlah Al Imam Ja’far As Shadiq.

2.      Kita temukan kaum Syiah bertaqarrub kepada Allah dengan cara mencela para sahabat terkemuka Nabi, terutama tiga Khulafa’ Ar Rasyiidun (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan) sementara TIDAK kita temukan seorang sunni yang mencela satu pun dari Ahlul Bait, bahkan kaum Sunni bertaqarrub kepada Allah dengan mencintai Ahlul Bait dan hal tersebut tidak bisa diingkari atau bahkan didustakan oleh kaum Syiah sendiri.


*Disadur dari kitab Risalah ila muhibbi Ali al-Bait, ditulis oleh Tim Peneliti dan Kajian Dar al-Muntaqa
Baca Selengkapnya »»  

Selasa, 13 November 2012

Kedudukan Ali di Mata Syi'ah


Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia melekatkan kepada Ali sifat-sifat rububiyah Allah, “Dan di antara khutbah-khutbahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku (Ali bin Abi Thalib –red) mempunyai semua kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya sesudah Rasulullah kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku pemilik sirath dan mauqif, aku pembagi (distributor) surga dan neraka dengan perintah Robb-ku. Akulah yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan buah-buahan. Akulah yang memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai. Akulah yang menyimpan ilmu, akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan alam, akulah sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba diperintahkan untuk berdoa dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala dan yang membangkitkan manusia dari dalam kubur. Akulah penguasa hari kebangkitan. Akulah yang menyelamatkan Nuh, yang menyembuhkan Ayub. Akulah yang menegakkan langit dengan perintah Tuhanku. Akulah si pemegang keputusan yang tidak dapat diubah, hisab para makhluk berada di tanganku. Para makhluk menyerahkan urusannya kepadaku. Akulah yang mengokohkan gunung-gunung yang menjulang tinggi, yang memancarkan mata air, dan yang menciptakan alam semesta. Akulah yang membangkitkan para mayat, yang menurunkan kuburan. Akulah yang memberi cahaya matahari, bulan dan bintang. Akulah yang membangkitkan hari kiamat, yang mengetahui hal yang telah lalu dan yang akan datang. Akulah yang membinasakan para raja lalim terdahulu dan yang melenyapkan negeri-negeri. Akulah yang menciptakan gempa, yang membuat gerhana matahari dan bulan. Aku pula yang menghancurkan fir’aun-fir’aun dengan pedangku ini. Akulah yang ditugasi Allah untuk melindungi orang-orang lemah dan Allah perintahkan mereka taat kepadaku.”

Beginilah mereka mensifatkan Ali bin Abi Thalib sebagai dzat yang memiliki kekuasaan sebagaimana kekuasaan Allah Azza wa Jalla.

Dalam kitab Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya Hasan bin Yusuf bin al- Muthahhir al-Hilly (hal 8) disebutkan, Akhthab Khawarizm meriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tatkala Allah ciptakan Adam dan Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya, Adam bersin lantas mengucapkan, “Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya, “Engkau telah memuji-Ku wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku kalau bukan karena dua hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam bertanya, “Mereka berdua dari keturunanku?”, “Betul wahai Adam. Angkatlah kepalamu dan lihatlah!” Maka Adam mengangkat kepalanya, dan ternyata telah tertulis di atas ‘Arsy, “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah, Muhammad nabi kasih sayang dan Ali penegak hujjah. Barang siapa yang mengetahui hak Ali maka dia akan suci dan bahagia, dan barang siapa yang taat kepadanya meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku akan Kumasukkan ke dalam surga. Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang siapa yang tidak taat kepada Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya akan Kumasukkan ke dalam neraka!”

Na’udzubillah… mereka menempatkan ketataan kepada Ali lebih tinggi disbanding ketaatan kepada Allah…!!!

Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku bersama Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan akulah yang menjadikan api itu dingin serta menyelamatkan. Aku juga bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang menyelamatkan dia dari ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan Taurat kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama Yusuf di dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian aku hembuskan angin baginya.”

Lantas apa yang tersisa untuk Allah??? Na’udzubillah dari ghuluw ini…!!!

*Disalin dari tulisan Ust. Abdullah Zain, Lc., MA., “Biarkan syi’ah bercerita tentang agamanya.”
Baca Selengkapnya »»  

Dengarlah Perkataan Ulama Mereka...


Al-Kulainy dalam kitab al-Kaafi jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Apakah kalian pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Benar!” Lantas aku bertanya lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pewaris para nabi mengetahui apa yang mereka ketahui?” “Benar!”, jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah kalian menghidupkan orang yang sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang terkena penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.

Husain bin Abdul Wahab dalam kitabnya ‘Uyun al-Mu’jizat hal 28 bercerita bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak diketahui pembunuhnya, “Berdirilah -dengan izin Allah- wahai Mudrik bin Handzalah bin Ghassan bin Buhairah bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab! Sesungguhnya Allah dengan izin-Nya telah menghidupkanmu dengan kedua tanganku!” Maka berkatalah Abu Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit dalam keadaan memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari dan bulan, sembari berkata, “Aku dengar panggilanmu wahai yang menghidupkan tulang, wahai hujjah Allah di kalangan umat manusia, wahai satu-satunya yang memberikan kebaikan dan kenikmatan. Aku dengar panggilanmu wahai Ali, wahai Yang Maha Mengetahui.” Maka berkatalah amirul-mu’minin, “Siapakah yang telah membunuhmu?” Lantas orang tersebut memberitahukan pembunuhnya.

Berkata al-Kasany dalam kitabnya ‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din jilid II, hal 597, “Semua makhluk diciptakan untuk mereka (para imam), dari mereka, karena mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada mereka. Karena -tanpa diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia dan akhirat hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat untuk mereka dan milik mereka. Para manusia adalah budak-budak mereka!

Dengarlah salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan (dalam ceramahnya) bahwasanya Nabiyullah Isa ‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali rodhiallahu ‘anhu, “Wahai para manusia, beberapa hari yang lalu telah dirayakan hari kelahiran Isa al-Masih, yang telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali bin Abi Thalib!

Berkata Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya Al-Hukumah al- Islamiyah hal 52, “Sesungguhnya para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap kekuasaan dan pengawasan mereka.

Sulaim bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta dengan perkataannya, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali, “Wahai Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu pengetahuan Allah yang paling agung sesudahku, engkau adalah tempat bersandar yang paling besar di hari kiamat. Barang siapa bernaung di bawah bayanganmu niscaya akan meraih kemenangan. Karena hisab (penghitungan amal) para makhluk berada di tanganmu, tempat kembali mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan amalan), shirath (jalan yang mengantarkan para hamba ke surga), dan al-mauqif (tempat berkumpulnya semua makhluk di hari akhir) semua itu adalah milikmu. Maka barang siapa yang bersandar kepadamu, niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelisihimu niscaya akan celaka dan binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”

Na’udzibillah… Lihatlah bagaimana mereka menempatkan imam-imam mereka sebagai dzat yang memiliki kekuasaan dan kerjaan atas segalanya. Sungguh mereka benar-benar sesat dan menyesatkan. Semoga kita semua dilindungi dari makar-makar mereka.

*Disalin dari tulisan Ust. Abdullah Zain, Lc., MA., “Biarkan syi’ah bercerita tentang agamanya.”
Baca Selengkapnya »»  

Minggu, 11 November 2012

Syi'ah Bercerita Tentang Ahlul Bait



Ahlul bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak diragukan lagi (menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (QS. Al Ahzab 32-33). Ahlus sunnah mencintai dan mengasihi ahlul bait juga mencintai dan mengasihi sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa tidak ada yang ma’shum melainkan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keyakinan mereka juga: wahyu telah terputus dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak seorang pun dari para manusia yang telah mati bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi, kita Ahlusunnah menjunjung tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan mereka agar senantiasa mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa kita juga berlepas diri dari musuh-musuh mereka.

Di pihak lain, orang-orang Rafidhah (baca syi’ah –red) selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan paling kufur.

Al Kulainy (ulama besar syi’ah –red) dalam kitabnya al-Kaafi (yang mana ini merupakan kitab yang paling shahih menurut Rafidhah), dia telah mengkhususkan di dalamnya bab-bab yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di jilid I, hal 261,dia berkata, “Bab bahwasanya para imam mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari pengetahuan mereka.”Dia juga telah meriwayatkan dalam halaman yang sama dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa mereka mendengar Abu Abdillah (yang dia maksud adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui apa-apa yang ada di dalam surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu serta yang akan datang.”

Dia juga berkata dalam jilid I, hal 258, “Bab bahwasanya para imam mengetahui kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kemauan mereka sendiri.”

Di antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka bahwa para imam memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau mereka; mereka bisa menghidupkan orang yang telah mati, juga menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena kusta, kemudian dunia akhirat milik para imam, mereka berikan kepada siapa saja sesuai dengan kehendak mereka. Beginilah aqidah mereka yang sebenarnya. Mereka sesat dan menyesatkan. Semoga kita dilindungi dari kesesatan mereka.

*Disalin dari tulisan Ust. Abdullah Zain, Lc., MA., “Biarkan syi’ah bercerita tentang agamanya.”
Baca Selengkapnya »»  

Kamis, 08 November 2012

Inilah yang Terbaik...


Jika dikumpulkan oleh kita kaum yahudi, nashrani, dan umat Islam lalu ditujukan kepada mereka satu pertanyaan yang sama, ”Bagaimana pendapat kalian mengenai Nabi Musa ‘alaihissalam, Nabi Isa ‘alaihissalam, dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam…???” maka kaum yahudi akan menjawab ”Kami beriman kepada Nabi Musa dan kami tidak beriman kepada Isa dan Muhammad.”

Sedangkan kaum nashrani akan menjawab, “Kami beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, dan kami tidak beriman kepada Muhammad.” Adapun umat Islam maka mereka akan menjawab, “Kami beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, dan kami pun beriman kepada Nabi Muhammad.”dan tentu ”Inilah yang terbaik di antara ketiganya.”

Begitu pula jika didatangkan orang Sunni dan Syi’ah, lalu ditujukan kepada mereka satu pertanyaan yang sama, ”Bagaimana pendapat kalian mengenai ahlul bait (keluarga) dan sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam…???” maka orang syi’ah  akan menjawab ”Kami cinta kepada ahlul bait dan kami membenci (baca mengkafirkan –red) sahabat-sahabat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.”

Sedangkan orang Sunni akan menjawab, “Kami cinta kepada keluarga Nabi dan kami pun cinta kepada sahabat-sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.” Dan di antara keduanya tentu ”Sunnilah yang terbaik.”


*Dikutip dari ceramah Ust. Rahmat Abdul Rahman, Lc., MA., dalam dialog Sunni-Syi’ah.
Baca Selengkapnya »»