Sabtu, 15 Desember 2012

Benarkah Peringatan Ahlul Bait


Hari Asyura menggoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin. Bagi orang yang memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabatnya, dan keluarganya. Di hari Asyura, Allah memuliakan Husein bin Ali bin Abi Thalib dengan syahadah (mati syahid). Beliau dibunuh di tanah Karbala oleh para penghianat dari Irak. Kita anggap ini adalah musibah. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Namun sungguh sangat disayangkan, setelah kejadian musibah tersebut, ternyata datang musibah yang jauh lebih besar. Munculnya sikap ekstrim sebagian kaum muslimin dengan motivasi mengagungkan Husein. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari berkabung, hari belasungkawa dengan acara besar-besaran. Padahal, sama sekali hal ini tidak pernah dicontohkan para sahabat ataupun ahlul bait Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat mencintai Husein tidak pernah melakukan apa yang telah mereka lakukan hari ini.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang ummatnya untuk meratap, apalagi dengan memukul-mukul dan menyakiti diri sebagaimana sabda beliau, “Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari)
Pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah banyak kejadian yang menyedihkan beliau, seperti kematian paman beliau Hamzah bin Abdul Muthalib yang dibunuh secara keji pada perang Uhud, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengadakan peringatan atas kematian pamannya tersebut apalagi diperingati setiap tahun.
Jika kita betul-betul mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahlul baitnya maka sudah tentu kita patuh pada syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak perlu membuat syariat yang baru.
Apalagi ditambah dengan keyakinan yang batil bahwa pahala setiap langkah orang yang berziarah ke makam Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma sama seperti pahala melaksanakan haji dan umrah. Jelas keyakinan tersebut adalah akidah batil yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah akidah batil mereka diantara ratusan akidah batil mereka dengan mengatasnamakan ahlul bait. Akidah tersebut tidak bisa dikatakan sebagai bukti cinta ahlul bait bahkan itu adalah penghinaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada ahlul bait itu sendiri. Wallahu musta’an.
Buletin Dakwah Al-Balagh edisi 02 Muharram 1434

Sumber: http://wahdahmakassar.org/jalan-cinta-kepada-ahlul-bait/#ixzz2FBDuxoE2
Baca Selengkapnya »»  

Syiah Tidak Mampu Menjawab


Pertanyaan pertama :
Apakah Anda beriman kepada takdir?
Jika Anda mengatakan “iya”, saya katakan kepada Anda : “Mengapa Anda menyakiti diri dengan memukul-mukul badan, berteriak dan menangisi al Husain?”
Jika Anda mengatakan bahwa Anda tidak beriman kepada takdir, selesailah urusan ini dengan pembangkangan Anda terhadap takdir dan ketidak ridhoan Anda terhadap hikmah Allah Ta’ala
Pertanyaan kedua :
Termasuk dalam keyakinan Anda adalah apa yang Anda dan seluruh Syiah lakukan pada hari Asyura’.
Jika Anda mengatakan Allah dan rasul-Nya memerintahkan itu, maka dimanakah dalilnya?
Jika Anda mengatakan tidak ada seorang pun yang menyuruhnya, maka saya katakan ini adalah perkara bid’ah
Jika Anda mengatakan bahwa Ahlul Bait menyuruhmu untuk melakukan itu, maka saya akan meminta darimu siapa dari mereka yang pernah melakukannya?
Jika Anda mengatakan : Saya hanya mengungkapkan kecintaan saya kepada Ahlul Bait, maka saya katakan kepadamu : Kalau memang seperti itu, maka “Ashabul ‘Imamah” (orang-orang yang memakai sorban, ulama-ulama Syiah) justru membenci Ahlul Bait karena kami tidak melihat mereka ikut serta memukul-mukul diri mereka.
Demikian juga Ahlul Bait saling membenci diantara mereka, karena tidak ada seorang pun yang memukul, menampar atau menyakiti diri untuk memperingati kematian yang lainnya.
Pertanyaan ketiga :
Apakah keluarnya al Husain ke Karbala dan terbunuhnya beliau merupakan kemuliaan untuk Islam dan kaum muslimin atau sebaliknya, kehinaan untuk Islam dan kaum muslimin?
Jika Anda mengatakan kemuliaan untuk Islam dan kaum muslimin, saya katakan, mengapa kalian menangisi hari yang merupakan kemuliaan Islam dan kaum muslimin? Apakah kemenangan Islam itu telah menyakiti Anda?
Jika Anda mengatakan itu merupakan kehinaan untuk Islam dan kaum muslimin, saya katakan : Apakah kita akan menyebut al Husain sebagai orang yang menghinakan Islam dan kaum muslimin?
Karena al Husain dalam keyakinan Anda mengetahui yang ghaib, yang dengannya tentu saja ia telah mengetahui bahwa ia akan menghinakan Islam dan kaum muslimin…
Pertanyaan keempat :
Manfaat apa yang didapatkan al Husain dari keluarnya dia ke Karbala dan terbunuh disana?
Jika Anda mengatakan dia keluar untuk melawan kezaliman, maka saya katakan : Mengapa ayahnya, Ali bin Abi Thalib tidak keluar untuk melawan orang-orang yang telah menzaliminya?
Apakah al Husain lebih mengetahui daripada ayahnya? Ataukah ayahnya tidak pernah mengalami kezaliman itu? Ataukah Ali bukanlah seorang yang pemberani untuk melawan kezaliman?
Mengapa pula saudaranya, al Hasan tidak keluar memerangi Mu’awiyah? Bahkan ia berdamai dengannya dan menyerahkan kepemimpinan negeri dan kaum muslimin kepadanya. Siapakah diantara ketiga orang ini yang benar? (radhiyallahu ‘anhum)
Pertanyaan kelima :
Siapakah yang membunuh al Husain?
Jika Anda mengatakan : Yazid bin Mu’awiyah, saya akan menuntutmu dengan sebuah dalil yang shahih dari ktab-kitabmu (dan Anda tidak perlu susah payah mencari, karena tidak ada dalil yang shahih dalam kitab-kitabmu yang menyebutkan bahwa Yazid membunuh atau menyuruh membunuh al Husain)
Jika Anda mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah Syamr bin Dzil Jausyan, maka saya katakan padamu :”Mengapa Anda melaknat Yazid?”
Jika Anda mengatakan al Husain terbunuh di masa pemerintahan Yazid, maka saya katakan bahwa Imam Anda yang ghaib (yang bersembunyi di gua) bertanggung jawab terhadap setiap darah muslim yang tumpah. Di masanya, Iraq, Palestina, dan Afghanistan terjajah dan Syiah pun diserang, sementara dia berlepas diri dan tidak berbuat sesuatu…
(Dalam keyakinan Syiah, Imam yang ghaib itulah penguasa yang hakiki di alam semesta ini)
Pertanyaan keenam :
Manakah yang lebih berat bagi Islam dan kaum muslimin, kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau terbunuhnya al Husain?
Jika Anda mengatakan kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya tanyakan : Mengapa kami tidak melihat kalian menampar dan memukul-mukul tubuh untuk beliau?
Jika kalian mengatakan terbunuhnya al Husain lebih berat dan buruk, maka akan jelaslah bagi manusia bahwa Nabi yang mulia tidak memiliki kedudukan berarti dalam pandangan kalian, dan kalian lebih mengutamakan al Husain daripada beliau.
Pertanyaan ketujuh :
Al Husain radhiyallahu ‘anhu dalam keyakinan Syiah mengetahui yang ghaib. Apakah dia keluar bersama keluarganya untuk bunuh diri?
Jika Anda mengatakan “Iya”, Anda telah menuduhnya bunuh diri dan membunuh anak-anaknya.
Jika Anda mengatakan “Tidak”, maka Anda telah menggugurkan kema’shuman dan keimamahannya.
Sumber: catatan Taufiq Abu Iyas
Sumber: http://wahdahmakassar.org/syiah-tidak-mampu-menjawab/#ixzz2FBAuiDVZ
Baca Selengkapnya »»  

Minggu, 09 Desember 2012

Ulama Suriah : Seluruh Syiah sesat, Imam Zaid seorang Ahlus Sunnah


Permasalahan kesesatan Syiah menjadi sorotan sama, baik di  Suriah maupun di tanah air, khususnya pada kasus Sampang-Madura. Syaikh Mahir Al Munajib, ulama dari Suriah, memberikan penjelasan mengenai kesesatan Syiah. Ungkapan yang menyebutkan tidak semua Syiah sesat karena ada aliran bernama Zaidiyah, diluruskannya secara gamblang.
Menurut ia, kata Syiah Zaidiyah berasal dari nama Zaid Bin Ali Bin Husein Bin Ali Bin Abu Thalib. Zaid cicit dari Ali Bin Abu Thalib Ra.
Pada faktanya Zaid bukanlah seorang Syiah. Ia penganut Ahlussunnah yang baik. Pada masa kekhalifahan Umawiyyah, tepatnya saat umat Islam dipimpin Khalifah Nisab Ibnu Abdul Malik,  terjadi pemberontakan terhadap Khalifah. Hal ini karena kondisi ketidakadilan pada masa itu.
"Saat itu tidak ada fikroh-fikroh dalam Syiah. Syiah itu hanya satu, yaitu Syiah saja. Syiah yang mengagungkan Ali Bin Abu Thalib ra dan melaknat dan mengkafirkan para sahabat lainnya. Kaum ini cukup banyak, salah satunya di Irak," jelas Shaikh Mahir dalam kajian Islam di Masjid Muhammad Ramadhan, Bekasi Selatan, Ahad (2/9) dikutip hidayatullah.com.
Merasa ia keturunan Ali Bin Abu Thalib ra, Zaid lantas pergi ke Irak untuk mencari dukungan dari kalangan Syiah di sana. Setelah melakukan lobi di Iraq, kalangan Syiah pun setuju untuk membantu Zaid. Adapun kesepakatan kerjasama itu adalah Zaid harus melaknat Abu Bakar As Shidiq ra dan Umar Bin Khatab Ra. Mendengar permintaan itu Zaid sebagai seorang ahlussunnah menolak melakukannya.
Dari situlah muncul kata Rafidhoh, dari kata Rafado (menolak), karena Syiah saat itu menolak membantu Zaid. Di sisi lain ulama-ulama Syiah menjadikan Zaid sebagai tokoh Syiah Zaidiyah, walaupun ia seorang Ahlussunnah.
Pada kenyataannya Syiah Zaidiyah  hanya ungkapan yang dibuat oleh kalangan Syiah. Gagasan Zaidiyah merupakan manuver politik Syiah untuk mengelabui Ahlussunnah.
Gambaran Zaidiyah sebagai kelompok yang masih sama dengan Ahlussunah, justru sangat menguntungkan pola taqiyah (berbohong) dari kalangan Syiah Rafidhoh. Kebanyakan Syiah Rafidhoh dan golongan Syiah lainnya akan mengaku Zaidiyah ketika posisi mereka lemah. Ketika mereka kuat, maka mereka akan menampakkan wujud aslinya dalam menghina sahabat, bahkan membantai Ahlussunnah wal jamaah.
"Tidak ada Syiah yang tidak menghina sahabat. Tidak ada Syiah yang tidak memiliki misi untuk menghancurkan Ahlussunnah. Semua Syiah adalah satu, (mereka semua) adalah sama, apapun perbedaan nama di antara mereka," tegas Shaikh Mahir .
Shaikh Mahir juga menambahkan, kelompok Syiah memang selalu membuat masalah dan kekisruhan dalam sejarah Islam. Hal-hal seperti di Suriah hingga di belahan bumi manapun mengenai pengkhianatan Syiah, sudah dimulai lama, bahkan dari zaman Umawiyah, Abbasiyah hingga zaman Ustmaniah.
"Mereka pernah menjual umat Islam kepada bangsa Mongol dan Romawi. Pada era modern mereka menjualnya kepada Zionis-Yahudi hingga hancurnya kekhalifahan Turki Utsmaniyah," katanya. 

*Sumber : http://arrahmah.com/read/2012/09/04/22924-ulama-suriah-seluruh-syiah-sesat-imam-zaid-seorang-ahlus-sunnah.html
Baca Selengkapnya »»  

MUI Pusat akui pernah keluarkan himbauan mewaspadai Syiah


Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengaku belum mengeluarkan pernyataan apa pun terhadap aliran tersebut. "Kami belum mengeluarkan fatwa apa-apa," kata Ketua MUI Pusat Amidhan seperti dilansir Tempo, Senin, 27 Agustus 2012.
Namun menurut dia, MUI sempat mengeluarkan pernyataan tentang aliran Syiah pada awal 1980-an lalu. Saat itu, diktum dari MUI berisikan bahwa masyarakat mewaspadai aliran Islam tersebut. "Intinya mewaspadai, karena antara Syiah dan Sunni ada perbedaan yang cukup tajam," ujar Amidhan.
Ia menjelaskan, munculnya diktum MUI tersebut disebabkan aliran Syiah saat itu sudah merambah ke remaja dan pemuda di Malaysia. "Kemudian secara perlahan masuk ke Indonesia, sehingga waktu itu diminta untuk diwaspadai," ucapnya.
Permintaan waspada dari MUI saat itu dilatarbelakangi oleh pendapat para ulama yang mengatakan bahwa aliran Syiah merupakan aliran di luar Islam. "Tapi fakta menunjukkan bahwa mereka (Syiah) mempunyai kekuatan yang cukup besar di Iran, Irak, dan negara Timur Tengah lainnya," kata Amidhan.
Sementara saat ini, Amidhan melanjutkan, perkembangan aliran Syiah di Indonesia sudah sangat luar biasa. "Itu yang mungkin meresahkan (masyarakat), terutama di Madura," ujar dia.
Kekerasan terhadap komunitas Syiah kembali terjadi. Sekitar 200 warga anti-Syiah menyerbu permukiman milik komunitas Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Ahad pagi, 26 Agustus 2012. Mereka melempari rumah warga dengan batu.
Aksi tersebut dibalas pemuda Syiah sehingga bentrokan pun tak terhindarkan. Setidaknya dua penganut Syiah tewas akibat sabetan celurit. Sekitar 10 rumah juga terbakar. "Kerugian lain belum tahu karena kami masih bersembunyi," kata sumber berinisial HI, yang enggan menyebut nama lengkapnya.
Baca Selengkapnya »»  

MUI Jatim Kukuh Takkan Cabut Fatwa Syiah Sesat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menegaskan tidak akan mencabut fatwa MUI Jatim bernomor Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tentang kesesatan ajaran Syiah. Pasalnya, fatwa itu memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait ajaran Syiah. 

"Fatwa dikeluarkan melalui beberapa kajian. Bukan dalam waktu singkat. Presiden saja tidak bisa mencabut fatwa itu," kata Sekretaris MUI Jatim M Yunus kepada Okezone, Kamis (6/9/2012). 

Menurut Yunus, mengeluarkan fatwa itu, MUI Jatim melakukan kajian sejak 2004 lalu, sebelum terjadinya konflik di Sampang. Bahkan, MUI Jatim juga melakukan kajian terhadap kitab-kitab yang digunakan rujukkan oleh warga Syiah di antarnya Kitab Bihanul Amar, Furu'ul Kahfi dan sejumlah kitab lainnya. Sekira 20 kitab yang menjadi rujukan MUI Jatim. 

Yunus membantah bahwa munculnya Fatwa MUI Jatim tersebut merupakan pemicu tindakkan kekerasan di Sampang. Sebab kekerasan di wilayah tersebut sudah ada sejak Tahun 2003 berlanjut pada tahun 2006, tahun 2009 hingga tahun 2011 dan berlanjut pada tahun 2012 ini. 

Atas kajian tersebut, MUI melakukan kajian dan juga permintaan dari sejumlah daerah. Sementara fatwa tersebut keluar pada tanggal 21 Januari 2012 lalu. 

Ia juga mengatakan, fatwa MUI Jatim ini sebenarnya adalah untuk memperkuat Fatwa MUI Pusat yang dikeluarkan pada tahun 1984 lalu. Dalam fatwa itu, MUI menegaskan agar masyarakat mewaspadai aliran Syiah. 

"Namun bagi kalangan Syiah, fatwa tersebut dipolitisir dengan mengatakan bahwa Syiah tidak sesat berdasarkan fatwa tersebut. Makanya, Fatwa MUI Jatim itu mempertegas Fatwa MUI Pusat dengan melalui sejumlah kajian bersama ormas-ormas Islam lainnya," paparnya. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Aliansi Kebhinekaan dan Anti-Kekerasan Malang menuntut Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mencabut fatwa Syiah sesat. Aliansi berpendapat jika fatwa tersebut memicu kebencian umat terhadap kelompok dan faham tertentu.

Koordinator aliansi, Reymond Kamil, mengatakan fatwa MUI Jatim tersebut justru memicu kekerasan. Pernyataan itu disampaikan dalam diskusi di padepokan Komunitas Kalimetro, Kota Malang pada Rabu kemarin.


*Sumber : http://surabaya.okezone.com/read/2012/09/06/519/685877/mui-jatim-kukuh-takkan-cabut-fatwa-syiah-sesat
Baca Selengkapnya »»  

MUI Jatim: Kalau Syiah Masih Ada, Tetap Ada Konflik!

Ketua Majelis Ulama Indonesia perwakilan Provinsi Jawa Timur (MUI Jatim) KH Abdusshomad Buchori mengungkapkan, jika muslim Syiah tetap ada maka konflik antara Syiah dan Sunni tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut mengacu pada persepsi negatif sebagian masyarakat Sampang terhadap komunitas Syiah

"Saya yakin kalau Syiah masih tetap ada, maka akan terus terjadi konflik. Sebelum ada Tajul Muluk (pimpinan komunitas Syiah di Sampang), Sampang aman kok," ujar Buchori di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (3/9/2012).

Buchori mengklaim, komunitas Syiah telah mengganggu ketentraman warga Sampang lantaran memiliki pandangan berbeda dengan Islam Sunni. Perbedaan pokok tersebut, lanjutnya, mengacu pada rukun Iman dalam Syiah yang disebarkan Tajul pada masyarakat Sampang berbeda dengan yang dipelajari dan diyakini muslim Sunni.

Hal itu pulalah yang diakuinya menjadi latar belakang fatwa MUI Jawa Timur terhadap komunitas Syiah. "Dalam aturan MUI Pusat aja 10 kritetia dalam mendakwa aliran agama sesat. Jika 1 sudah terpenuhi dalam 10 kriteria tersebut maka aliran kepercayaan itu sudah sesat," katanya.

Dirinya menggarisbawahi, rukun iman dalam Islam Sunni ada enam sedangkan islam Syiah hanya memiliki lima. Selain itu, dirinya mengakui jika rukun Islam antara Syiah dan Sunni turut berbeda.
Di lain tempat, Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Bergama Slamet Effendy Jusuf, berdalih fatwa MUI lebih ditujukan untuk menjaga sikap masyarakat. Menurut Effendy, penyikapan tersebut harus dihindarkan dari perbuatan yang bersifat kekerasan.

"Fatwa yang kemudian disertai dengan kekerasan tidak dibenarkan oleh MUI. Aapapun alasannya, kekerasan atas sesama manusia tidak dapat ditolerir," tegas Effendy.



Sumber : Koran Harian Kompas
Baca Selengkapnya »»  

Rabu, 05 Desember 2012

Perbedaan Sunni-Syiah Bukan Khilafiyah, Tapi Akidah. Mustahil Disatukan!!!


Pakar Syiah Prof. DR. Mohammad Baharun mengatakan, ia tidak pesimis jika Sunni-Syiah disatukan, tapi ia ingin mengatakan, tidak mungkin Sunni-Syiah dapat dipersatukan, sampai kapanpun. Karena hingga saat ini, belum ada contoh di dunia, dimana Sunni-Syiah bisa  saling kompromi dan duduk bersama.

“Kita memang memimpikan ukhuwah itu, tapi kita harus berpegang teguh pada akidah di atas ukhuwah. Ukhuwah penting, tapi akidah lebih penting. Dalam hal bermuamalah, boleh saja saling bekerjasama, tapi tidak sampai menodai akidah kita," ujar Baharun dalam sebuah kajian di Masjid Darussalam, Komplek Tugu Asri, Depok, Sabtu malam (14/1).

Yang jelas, Baharun merasa gagal  memimpikan bersatunya Sunni-Syiah. Mengingat, sulit untuk menghapus doktrin yang sudah mendarah daging pada Syiah yang suka melaknat para sahabat Nabi dan istri-istrinya. Sunni memang tidak pernah mengatakan sahabat itu ma’sum, tapi bagi ahlu sunnah wal jamaah, Sahabat itu ‘Udul, proporsional, dan penerus kenabian,” papar Baharun.

Kata Baharun, bila kaum Syiah naik haji, mereka shalat sendiri-sendiri. Bahkan mereka tidak mau berjamaah dengan Sunni. Maka, bagaimana mungkin bisa dikompromikan. Sebagai contoh, ketika Sunni-Syiah duduk berjamaah. Ketika Sunni mendengar nama sahabat Rasulullah, maka akan menyebut radhiallahuanhu (ra), sementara di sebelahnya (Syiah) malah melaknat sahabat Rasulullah Saw, seperti Abubakar, Umar dan Utsman. Jadi bagaimana mungkin mempertemukan dua keyakinan yang memiliki perbedaan tajam itu.

Berbeda Akidah
Menurut Prof Baharun, doktrin Syiah itu sulit dikompromikan dengan Sunni. Karena perbedaan Sunni-Syiah, bukan lagi soal perbedaan khilafiyah, tapi sudah menyangkut akidah yang jauh sulit untuk dipertemukan. Sudah pernah dicoba disatukan, tapi memang tak bisa. “Saatnya kita membimbing keluarga kita untuk mengokohkan akidah yang benar, dan terhindar dari api neraka,” tandasnya.

Ketika ditanya, seorang Sunni bernama Syeikh Saltut, pernah mendekatkan Sunni-Syiah. Bagaimana pendapat Ustadz? Menjawab pertanyaan itu, Ustadz Baharun menjawab, pendapat Syaikh Saltut itu masih kabur. Boleh jadi, yang dimaksud Syeikh Saltut adalah Syiah Zaidiyah, karena  memang Syiah Zaidiyah dekat dengan Aswaja (ahlu sunnah wal jamaah). Terlebih, Syiah Zaidiyah bisa menerima kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman. “Secara prinsip, Syiah Zaidiyah tidak berbeda dengan Aswaja.”

Menurut Baharun, pendapat Syeikh Saltut, tidak bisa dijadikan dasar pijakan. Boleh jadi pernyataan Syeikh Saltut, Syiah pada zamannya belum menjadi ancaman dan tantangan. Sampai saat ini Syiah terus mengalami transformasi, militansi Syiah terus dibangun di bawah tanah (underground). Untuk kita harus cerdas.

Harus diakui, kita terlalu melempem dengan sandiwara Syiah selama ini. Kita juga begitu lamban merespon Syiah, sementara jaringan mereka sudah semakin meluas kemana-mana. Sebagai contoh, di kampus-kampus, termasuk di kampus Muhammadiyah, telah didirikan Iran Center.

“Sudah saatnya kita mengetahui peta dan jaringan Syiah. Sudah saatnya pula, kita membentengi akidah umat Islam dari bahaya Syiah. Kalau Syiah menggap ahlusunnah itu benar, kenapa harus mencari sumber lain dari Syiah,” tukas Baharun.  

Strategi untuk membendung bahaya Syiah, Ustadz Baharun mengatakan, tidak cukup hanya memberi stempel sesat, tapi harus merapatkan shaf, masalah furu tak perlu dipertentangkan. Yang kita lawan adalah akidah dulu.  Sangat disayangkan, NU dan Muhamadiyah yang diharapkan menegakkan akidah, malah mengatakan bahwa Syiah dan Sunni itu sama-sama berakidah Islam. “Ironisnya lagi, kini banyak ulama yang diberangkatkan ke Iran, sepulang dari Iran, ulama itu malah membela Syiah.”

*Sumber : http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/01/16/17426/perbedaan-sunnisyiah-bukan-khilafiyahtapi-akidah-mustahil-disatukan/
Baca Selengkapnya »»  

MUI Surakarta : Syiah di Luar Islam


Umat Islam terus diresahkan dengan maraknya aksi tirani pengikut aliran sesat Syi’ah. Rabu (30/5/2012) yang lalu pengikut Syi’ah kembali bertindak anarkis. Satu orang warga NU terluka karena dibacok setelah sebelumnya terjadi cekcok dengan pengikut Syi’ah yang memaksa kajian tentang kesesatan Syi’ah dibatalkan.

Guna memperingatkan umat Islam akan bahaya Syi’ah, Ketua MUI Surakarta, Prof. Dr. dr. KH. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR, menegaskan bahwa Syi’ah di luar Islam.

“Ya itu tetap bukan Islam karena dia menafikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” tegasnya kepada voa-islam.com, Jum’at (1/06/2012).

Ia juga sependapat mengenai fatwa kesesatan Syi’ah seperti yang dikeluarkan MUI Jawa Timur. “Iya, memang di dunia mana pun begitu,” ujar guru besar Fakultas Kedokteran UNS. 

Bahkan menurutnya jika kita tak berani menyatakan Syi’ah itu sesat, maka kesesatan itu kembali ke diri kita. “Kalau kita menyatakan Syi’ah tidak sesat itu kita jadi golongannya,” tandasnya.

*Sumber : http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/06/02/19336/mui-surakarta-syiah-di-luar-islam/
Baca Selengkapnya »»  

Bersihkan Kitab Syiah yang Cela Sahabat

Wakil Ketua LPPI Indonesia Timur Ustadz Rahmat Abdurrahman LC dalam diskusi “Menyongsong Generasi Gemilang Bersama Cahaya Al Qur’an” di Masjid Al Ikhlas, Jl. Ragunan No. 11, Jatipadang, Jakarta Selatan, belum lama ini, Ahad (8/4), mengatakan, kaum Syiah tak terbantahkan, telah melecehkan para sahabat Nabi Muhammad Saw, seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan sahabat lainnya, termasuk istri Nabi semisal Aisyah.

“Sahabat Rasulullah Saw dikatakan jauh dari Islam, bahkan disebut-sebut telah keluar dari Islam. Banyak buku-buku Syiah yang menerangkan tentang keburukan sahabat. Sebagai conto buku ‘Syiah A-Z’ yang diterbitkan oleh Mizan,” ungkap  Ustadz Rahmat, salah satu ulama asal Indonesia yang ikut menandatangani pernyataan 190 ulama dunia Islam terkait Syi’ah.

Sebab kebencian dan kemarahan kaum Syiah terhadap sahabat Nabi saw adalah terkait pandangan, bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali ra. Selain Ali dianggap tidak sah. “Baiat para khalifah sebelum Ali dianggap batal, bahkan menyebutnya sebagai pengkhianat, murtad atau keluar dari Islam. Itulah sebabnya, kaum Syiah tidak pernah menyebut Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan, dengan kata-kata radhiallahuanhu (ra).”

Ustadz Rahmat menuturkan, Timur Tengah tidak akan aman selama masih da kekuatan Barat dan Syiah. “Pada saat kaum Syiah ke Madinah, dan berada di luar Masjid Nabawi, penghinaan terhadap sahabat Nabi kerap dilontarkan. Bukan hanya disebut tidak becus, tapi juga zalim. Abu Bakar dan Umar ra misalnya, dianggap telah merampas kepemimpinan Ali ra. Bahkan para sahabat Nabi pun dikatakan berhala bagi bangsa Quraish,” ujarnya.

Kata Ustadz Rahmat, kebencian kaum Syiah terhadap sahabat Nabi bisa dibuktikan dengan tidak pernah memberikan nama pada anak-anaknya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Khalid dan Aisyah. Dalam kitab-kitab Syiah, kita membaca pernyataan kebencian itu dengan menyebut sahabat Nabi tersebut sebagai khianat, zalim, bahkan murtad.

Di akhir acara, panitia memberikan doorprize kepada jamaah yang hadi di Masjid al-Ikhlas, Jatipadang, Jakarta Selatan, bagi yang bisa menjawab pertanyaan: Apa pandangan kaum Syiah terhadap sahabat Nabi Saw?

Menggugat Syiah
Dalam makalah Ustadz Rahmat yang dibagikan kepada peserta diskusi yang sebagian besar mahasiswa dan pelajar ini, menjelaskan pernyataan terbaru lebih dari 190 ulama dari berbagai dunia Islam menyeru Iran untuk memperbaiki kondisi ahlussunnah: perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan dalam masalah ushul (prinsip) dan bahwasannya usaha pendekatan antara Syi’ah dan Sunni tidak akan memberikan manfaat sedikipun.

Pernyataan para ulama ini muncul setelah statemen Syaikh DR. Yusuf al-Qaradhawi mendapat serangan bertubi-tubi oleh sebagian media massa Iran. Disebutkan: “Daripada melancarkan serangan kepada Syaikh DR. Yusuf al-Qaradhawi, seharusnya yang patut dilakukan oleh referensi-referensi syi’ah adalah mencabut sumbu penyulut api fitnah yang sebenarnya, yaitu celaan terhadap para sahabat dan orang terbaik dari umat ini serta menerbitkan fatwa…”.

Pernyataan ini juga mendukung pernyataan dari Lembaga Ulama al-Azhar, yang di dalam pernyataan itu disebutkan:“…Usaha pendekatan Sunni dan Syi’ah rafidhah tidak akan memberikan manfaat apa-apa, selama tokoh-tokoh Syi’ah masih berkeras untuk menjadikannya sebagai tangga dalam merealisasikan kepentingan perluasan madzhab dan hegemoni politik di negaranya.”

Perbedaan yang terjadi antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah al-Itsnay ‘asyariyah adalah perbedaan dalam masalahushuluddin (prinsip-prinsip agama), bukan permasalahan furu’ atau cabang-cabangnya. Sifat rububiyyah dan ghuluw terhadap imam mereka memiliki kedudukan yang tidak dicapai oleh malaikat terdekat dan tidak pula oleh nabi yang diutus sebagaimana dijelaskan oleh al-Khumaini dalam risalahnya “al-hukumah al-Islamiyah”.

Statemen ini mengajak para ulama dan umat Islam untuk melakukan perannya dan menyadari akan bahaya perluasan paham Syi’ah yang mengintai miliaran umat, karena ketamakan mereka dalam mensyi’ahkan ahlusunnah, terkadang dengan atas nama oposisi, sebagaimana yang terjadi di Lebanon, kadang atas nama revolusi seperti yang terjadi di Iran, kadang pula atas nama politik kuota sebagaimana yang terjadi di Irak, bahkan kadang atas nama peniadaan diskriminasi, penindasan dan penganiayaan sebagaimana terjadi di Kuwait, Bahrain, Saudi dan Yaman.

Diserukan kepada para ulama Syiah untuk membersihkan kitab-kitab pegangan (semisal Ushuulul Kaafi) mereka yang mencerca sahabat Nabi saw, apalagi menjadikan ucapan-ucapan para imam mereka yang ma’sum sederajat dengan sabda-sabda Nabi Saw dari segi penggunaannya sebagai hujjah, pendalilan dan kesucian.



*Sumber : http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/04/11/18629/rahmat-abdurrahman-lc-bersihkan-kitab-syiah-yang-cela-sahabat-nabi/
Baca Selengkapnya »»  

Selasa, 04 Desember 2012

Sikap Ulama Terhadap Agama Syiah

Pada hari-hari ini, kita melihat bahwa kaum Syi’ah sibuk menyebarkan lembaran-lembaran dari beberapa tokoh yang berisi beberapa pernyataan bahwa agama Syi’ah tidak sesat. Hal ini sudah menjadi kebiasaan kaum Syi’ah, pada negeri tempat mereka menganggap diri-diri mereka sebagai kaum minoritas, untuk menyerukan pendekatan atau persatuan antara Sunni dan Syi’ah serta yang semisalnya. Seluruh hal tersebut adalah upaya untuk mengaburkan sikap ulama Islam terhadap agama Syi’ah.

Berikut beberapa ucapan ulama kaum muslimin tentang agama Syi’ah agar umat Islam mengetahui bagaimana sikap ulama Islam yang sesungguhnya terhadap agama Syi’ah.
1. Imam ‘Alqamah bin Qais An-Nakha’iyrahimahulllâh (W. 62 H)
Beliau berkata,
لقد غلت هذه الشيعة في علي رضي الله عنه كما غلت النصارى في عيسى بن مريم
“Sungguh kaum Syi’ah ini telah berlaku ekstrem terhadap ‘Ali radhiyallâhu ‘anhûsebagaimana kaum Nashara berlaku ekstrem terhadap Isa bin Maryam.” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah 2/548]

2. Imam ‘Amr bin Syarâhîl Asy-Sya’by Al-Kûfy rahimahulllâh (W. 105 H)
Beliau bertutur,
ما رأيت قوماً أحمق من الشيعة
“Saya tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih dungu daripada kaum Syi’ah.” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah 2/549, Al-Khallâl dalamAs-Sunnah 1/497, dan Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jam’âh 7/1461]
Beliau juga bertutur,
نظرت في هذه الأهواء وكلمت أهلها فلم أر قوماً أقل عقولاً من الخشبية
“Saya melihat kepada pemikiran-pemikiran sesat ini, dan Saya telah berbicara dengan penganutnya. Saya tidak melihat bahwa ada suatu kaum yang akalnya lebih pendek daripada kaum (Syi’ah) Al-Khasyabiyah.” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah 2/548]

3. Imam Thalhah bin Musharrif rahimahulllâh (W. 112 H)
Beliau berkata,
الرافضة لا تنكح نساؤهم، ولا تؤكل ذبائحهم، لأنهم أهل ردة
“(Kaum Syi’ah) Rafidhah tidak boleh menikahi kaum perempuan mereka dan tidak boleh memakan daging-daging sembelihannya karena mereka adalah kaum murtad.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Ash-Shughrâ` hal. 161]

4. Imam Abu Hanîfah Muhammad bin An-Nu’mân rahimahulllâh (W. 150 H)
Beliau berucap,
الجماعة أن تفضل أبا بكر وعمر وعلياً وعثمان ولا تنتقص أحداً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
Al-Jamâ’ah adalah (berarti) engkau mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Ustman, serta janganlah engkau mencela seorang pun shahabat Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam. [Al-Intiqâ` Fî Fadhâ`il Ats-Tsalâtsah Al-A`immah Al-Fuqahâ` hal. 163]

5. Imam Mis’ar bin Kidâm rahimahulllâh (W. 155 H)
Imam Al-Lâlakâ`iy meriwayatkan bahwa Mis’ar bin Kidâm dijumpai seorang lelaki dari kaum Rafidhah, kemudian orang tersebut membicarakan sesuatu dengannya, tetapi kemudian Mis’ar berkata,
تنح عني فإنك شيطان
“Menyingkirlah dariku. Sesungguhnya engkau adalah syaithan.” [Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wal Jamâ’ah 8/1457]

6. Imam Sufyân bin Abdillah Ats-Tsaury rahimahulllâh (W. 161 H)
Muhammad bin Yusuf Al-Firyâby menyebut bahwa beliau mendengar Sufyân ditanya oleh seorang lelaki tentang pencela Abu Bakr dan Umar, Sufyân pun menjawab,
كافر بالله العظيم
“(Pencela itu) adalah kafir kepada Allah Yang Maha Agung.”
Orang tersebut bertanya, “(Bolehkah) Kami menshalatinya?”
(Sufyân) menjawab,
لا، ولا كرامة
“Tidak. Tiada kemuliaan baginya.”
Kemudian beliau ditanya, “Lâ Ilâha Illallâh. Bagaimana kami berbuat terhadap jenazahnya?”
Beliau menjawab,
لا تمسوه بأيديكم، ارفعوه بالخشب حتى تواروه في قبره
“Janganlah kalian menyentuhnya dengan tangan-tangan kalian. Angkatlah (jenazah itu) dengan kayu hingga kalian menutup kuburnya.” [Disebutkan oleh Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lâm An-Nubalâ` 7/253]

7. Imam Malik bin Anas rahimahulllâh (W. 179 H)
Beliau bertutur,
الذي يشتم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ، ليس لهم سهم، أوقال نصيب في الإسلام
“Orang yang mencela shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki saham atau bagian apapun dalam keislaman.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah hal. 162 dan Al-Khatsûl dalam As-Sunnah 1/493]
Asyhab bin Abdul Aziz menyebutkan bahwa Imam Malik ditanya tentang Syi’ah Rafidhah maka Imam Malik menjawab,
لا تكلمهم ولا ترو عنهم فإنهم يكذبون
“Janganlah kalian meriwayatkan hadits dari mereka. Sesungguhnya mereka itu sering berdusta.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ`sebagaimana dalam Minhâj As-Sunnah karya Ibnu Taimiyah 1/61]

8. Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim rahimahulllâh (W.182 H)
Beliau berkata,
لا أصلي خلف جهمي، ولا رافضي، ولا قدري
“Saya tidak mengerjakan shalat di belakang seorang Jahmy (penganut Jahmiyah),Râfidhy (penganut paham Syi’ah Rafidhah), dan Qadary (penganut paham Qadariyah).” [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 4/733]

9. Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahulllâh (W. 198 H)
Beliau berucap,
هما ملتان: الجهمية، والرافضة
“Ada dua agama (yang bukan Islam, -pent.), yaitu Jahmiyah dan Rafidhah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dalam Khalq Af’âl Al-‘Ibâd hal.125]

10. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syâfi’iy rahimahulllâh (W. 204 H)
Beliau berkata,
لم أر أحداً من أصحاب الأهواء، أكذب في الدعوى، ولا أشهد بالزور من الرافضة
“Saya tidak pernah melihat seorang pun penganut hawa nafsu yang lebih dusta dalam pengakuan dan lebih banyak bersaksi palsu melebihi Kaum Rafidhah.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ` 2/545 dan Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 8/1457]

11. Imam Yazîd bin Harun rahimahulllâh (W. 206 H)
Beliau berkata,
يكتب عن كل صاحب بدعة إذا لم يكن داعية إلا الرافضة فإنهم يكذبون
“Boleh mencatat (hadits) dari setiap penganut bid’ah yang menyeru kepada bid’ahnya, kecuali (Syi’ah) Rafidhah karena mereka sering berdusta.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ` sebagaimana dalam Minhâj As-Sunnah 1/60 karya Ibnu Taimiyah]

12. Imam Muhammad bin Yusuf Al-Firyaby rahimahulllâh (W. 212 H)
Beliau berkata,
ما أرى الرافضة والجهمية إلا زنادقة
“Saya tidak memandang kaum Rafidhah dan kaum Jahmiyah, kecuali sebagai orang-orang zindiq.” [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 8/1457]

13. Imam Al-Humaidy, Abdullah bin Az-Zubair rahimahulllâh (W. 219 H)
Setelah menyebutkan kewajiban mendoakan rahmat bagi para shahabat, beliau berkata,
فلم نؤمر إلا بالاستغفار لهم، فمن يسبهم، أو ينتقصهم أو أحداً منهم، فليس على السنة، وليس له في الفئ حق
“Kita tidaklah diperintah, kecuali memohonkan ampunan bagi (para shahabat). Siapa saja yang mencerca mereka atau merendahkan mereka atau salah seorang di antara mereka, dia tidaklah berada di atas sunnah dan tidak ada hak apapun baginya dalam fâ`i.” [Ushûl As-Sunnah hal.43]

14. Imam Al-Qâsim bin As-Sallam rahimahulllâh (W. 224 H)
Beliau berkata,
عاشرت الناس، وكلمت أهل الكلام، وكذا، فما رأيت أوسخ وسخاً، ولا أقذر قذراً، ولا أضعف حجة، ولا أحمق من الرافضة …
“Saya telah hidup dengan seluruh manusia. Saya telah berbicara dengan ahli kalam dan … demikian. Saya tidak melihat ada yang lebih kotor, lebih menjijikkan, argumennya lebih lemah, dan lebih dungu daripada kaum Rafidhah ….” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/499]

15. Imam Ahmad bin Yunus rahimahulllâh (W. 227 H)
Beliau berkata,
إنا لا نأكل ذبيحة رجل رافضي، فإنه عندي مرتد
“Sesungguhnya kami tidaklah memakan sembelihan seorang Syi’ah Rafidhah karena dia, menurut Saya, adalah murtad.” [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalamSyarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jamâ’ah 8/459]

16. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulllâh (W. 241 H)
Banyak riwayat dari beliau tentang celaan terhadap kaum Rafidhah. Di antaranya adalah:
Beliau ditanya tentang seorang lelaki yang mencela seorang shahabat Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam maka beliau menjawab,
ما أراه على الإسلام
“Saya tidak memandang bahwa dia di atas (agama) Islam.” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/493]
Beliau juga ditanya tentang pencela Abu Bakr, Umar, dan Aisyah maka beliau menjawab, “Saya tidak memandang bahwa dia di atas (agama) Islam.” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/493]
Beliau ditanya pula tentang orang yang bertetangga dengan (Syi’ah) Rafidhah yang memberi salam kepada orang itu. Beliau menjawab.
لا، وإذا سلم عليه لا يرد عليه
“Tidak (dijawab). Bila (orang Syi’ah) itu memberi salam kepada (orang) itu, janganlah dia menjawab (salam) tersebut.” [Diriwayatkan oleh Al-Khallâl dalam As-Sunnah 1/494]

17. Imam Al-Bukhâry, Muhammad bin Ismail rahimahulllâh (W. 256 H)
Beliau berkata,
ما أبالي صليت خلف الجهمي والرافضي، أم صليت خلف اليهود والنصارى، ولا يسلم عليهم، ولا يعادون، ولا يناكحون، ولا يشهدون، ولا تؤكل ذبائحهم
“Saya tidak peduli. Baik Saya melaksanakan shalat di belakang Jahmy dan Rafidhy maupun Saya mengerjakan shalat di belakang orang-orang Yahudi dan Nashara, (ketidakbolehannya sama saja). (Seseorang) tidak boleh menjenguk mereka, menikahi mereka, dan bersaksi untuk mereka.” [Khalq Af’âl Al-‘Ibâd hal. 125]

18. Imam Abu Zur’ah Ar-Râzy, Ubaidullah bin Abdil Karim rahimahulllâh (W. 264 H)
Beliau berkata, “Apabila engkau melihat seorang lelaki yang merendahkan seorang shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa dia adalah zindiq. Hal itu karena, di sisi Kami, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah benar dan Al-Qur`an adalah benar. Sesungguhnya, penyampai Al-Qur`an ini dan hadits-hadits adalah para shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Orang Syi’ah yang mencela shahabat) hanya ingin mempercacat saksi-saksi Kita untuk menghasilkan Al-Kitab dan Sunnah, Celaan terhadap (kaum pencela itu) adalah lebih pantas dan mereka adalah para zindiq.” [Diriwayatkan oleh Al-Khâtib dalam Al-Kifâyah hal. 49]

19. Imam Abu Hâtim Ar-Râzy, Muhammad bin Idris rahimahulllâh (W. 277 H)
Ibnu Abi Hâtim bertanya kepada ayahnya, Abu Hâtim, dan kepada Abu Zur’ah tentang madzhab dan aqidah Ahlus Sunnah maka Abu Hâtim dan Abu Zur’ah menyebut pendapat yang disepakati oleh para ulama itu di berbagai negeri. Di antara perkataan mereka berdua adalah bahwa kaum Jahmiyah adalah kafir, sedang kaum Rafidhah telah menolak keislaman. [Diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ`iy dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah Wa Al-Jam’âh 1/178]

20. Imam Al-Hasan bin Ali bin Khalaf Al-Barbahary rahimahulllâh (W. 329 H)
Beliau berkata,
واعلم أن الأهواء كلها ردية، تدعوا إلى السيف، وأردؤها وأكفرها الرافضة، والمعتزلة، والجهمية، فإنهم يريدون الناس على التعطيل والزندقة
“Ketahuilah bahwa seluruh pemikiran sesat adalah menghancurkan, mengajak kepada kudeta. Yang paling hancur dan paling kafir di antara mereka adalah kaum Rafidhah, Mu’tazilah, Jahmiyah. Sesungguhnya mereka menghendaki manusia untuk melakukan ta’thîl dan kezindiqan.” [Syarh As-Sunnah hal. 54]

21. Imam Umar bin Syâhin rahimahulllâh (W. 385 H)
Beliau berkata, “Sesungguhnya, sebaik-baik manusia setelah Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali ‘alaihimus salâm, serta sesungguhnya seluruh shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan lagi baik. Sesungguhnya Saya beragama kepada Allah dengan mencintai mereka semua, dan sesungguhnya Saya berlepas diri dari siapa saja yang mencela, melaknat, dan menyesatkan mereka, menganggap mereka berkhianat, serta mengafirkan mereka …, dan sesungguhnya Saya berlepas diri dari semua bid’ah berupa Qadariyah, Murji’ah, Rafidhah, Nawâshib, dan Mu’tazilah.” [Al-Lathîf Li Syarh Madzâhib Ahlis Sunnah hal. 251-252]

22. Imam Ibnu Baththah rahimahulllâh (W. 387 H)
Beliau bertutur, “Adapun (Syi’ah) Rafidhah, mereka adalah manusia yang paling banyak berselisih, berbeda, dan saling mencela. Setiap di antara mereka memilih madzhab tersendiri untuk dirinya, melaknat penyelisihnya, dan mengafirkan orang yang tidak mengikutinya. Seluruh dari mereka menyatakan bahwa tidak (sah) melaksanakan shalat, puasa, jihad, Jum’at, dua Id, nikah, talak, tidak pula jual-beli, kecuali dengan imam, sedang barangsiapa yang tidak memiliki imam, tiada agamanya baginya, dan barangsiapa yang tidak mengetahui imamnya, tiada agama baginya …. Andaikata bukan karena pengutamaan penjagaan ilmu, yang perkaranya telah Allah tinggikan dan kedudukannya telah Allah muliakan, dan penyucian ilmu terhadap percampuran najis-najis penganut kesesatan serta keburukan pendapat-pendapat dan madzhab mereka, yang kulit-kulit merinding menyebutkannya, jiwa merintih mendengarkannya, dan orang-orang yang berakal membersihkan ucapan dan pendengaran mereka dari ucapan-ucapan bid’ah tersebut, tentulah Saya akan menyebutkan (kesesatan Rafidhah) yang akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran.” [Al-Ibânah Al-Kubrâ` hal. 556]

23. Imam Al-Qahthâny rahimahulllâh (W. 387 H)
Beliau menuturkan kesesatan Rafidhah dalam Nûniyah-nya,
إن الروافضَ شرُّمن وطيءَ الحَصَى … من كلِّ إنسٍ ناطقٍ أو جانِ
مدحوا النّبيَ وخونوا أصحابه … ورموُهمُ بالظلمِ والعدوانِ
حبّوا قرابتهَ وسبَّوا صحبه … جدلان عند الله منتقضانِ
Sesungguhnya orang-orang Rafidhah adalah sejelek-jelek makhluk yang pernah menapak bebatuan
Dari seluruh manusia yang berbicara dan seluruh jin
Mereka memuji Nabi, tetapi menganggap para shahabatnya berkhianat
Dan mereka menuduh para shahabat dengan kezhaliman dan permusuhan
Mereka (mengaku) mencintai kerabat Nabi, tetapi mencela para shahabat beliau
Dua perdebatan yang bertentangan di sisi Allah
[Nûniyah Al-Qahthâny hal. 21]

24. Imam Abul Qâsim Ismail bin Muhammad Al-Ashbahâny rahimahulllâh (W. 535 H)
Beliau berucap, “Orang-orang Khawarij dan Rafidhah, madzhabnya telah mencapai pengafiran shahabat dan orang-orang Qadariyah yang mengafirkan kaum muslimin yang menyelisihi mereka. Kami tidak berpendapat bahwa boleh melaksanakan shalat di belakang mereka, dan kami tidak berpendapat akan kebolehan hukum para qadhi dan pengadilan mereka. Juga bahwa, siapa saja di antara mereka yang membolehkan kudeta dan menghalalkan darah, tidak diterima persaksian dari mereka.” [Al-Hujjah Fî Bayân Al-Mahajjah 2/551]

25. Imam Abu Bakr bin Al-‘Araby rahimahulllâh (W. 543 H)
Beliau bertutur, “Tidaklah keridhaan orang-orang Yahudi dan Nashara kepada pengikut Musa dan Isa sama seperti keridhaan orang-orang Rafidhah kepada para shahabat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Yakni, (kaum Rafidhah) menghukumi (para shahahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam) bahwa para (shahabat) bersepakat di atas kekafiran dan kebatilan.” [Al-‘Awâshim Min Al-Qawâshim hal. 192]

26. Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulllâh (W. 728 H)
Beliau menyatakan, “… dan cukuplah Allah sebagai Yang Maha Mengetahui bahwa, dalam seluruh kelompok yang bernisbah kepada Islam, tiada yang (membawa) bid’ah dan kesesatan yang lebih jelek daripada (kaum Rafidhah) tersebut, serta tiada yang lebih jahil, lebih pendusta, lebih zhalim, dan lebih dekat kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, juga tiada yang lebih jauh dari hakikat keimanan daripada (kaum Rafidhah) itu.” [Minhâj As-Sunnah 1/160]
Beliau berkata pula, “(Kaum Rafidhah) membantu orang-orang Yahudi, orang-orang Nashara, dan kaum musyrikin terhadap ahlul bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamdan umat beliau yang beriman sebagaimana mereka telah membantu kaum musyrikin dari kalangan At-Turk dan Tartar akan perbuatan mereka di Baghdad dan selainnya terhadap ahlul bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan Ma’din Ar-Risâlah, keturunan Al-‘Abbâs dan ahlul bait yang lain, berupa pembunuhan, penawanan, dan perusakan negeri-negeri. Kejelekan dan bahaya (orang-orang Rafidhah) terhadap umat Islam takkan mampu dihitung oleh orang yang fasih berbicara.” [Majmu’ Al-Fatâwâ 25/309]

*Disadur dan diringkas dari Al-Intishâr Li Ash-Shahbi Wa Al-Âl Min Iftirâ`ât As-Samâwy Adh-Dhâl hal. 90-110 (Diterjemahkan oleh Ust. Dzulqarnain M. Sunusi)


Baca Selengkapnya »»