Pakar Syiah Prof. DR. Mohammad Baharun mengatakan, ia tidak pesimis jika Sunni-Syiah disatukan, tapi ia ingin mengatakan, tidak mungkin Sunni-Syiah dapat dipersatukan, sampai kapanpun. Karena hingga saat ini, belum ada contoh di dunia, dimana Sunni-Syiah bisa saling kompromi dan duduk bersama.
“Kita memang memimpikan ukhuwah itu, tapi kita harus berpegang teguh pada akidah di atas ukhuwah. Ukhuwah penting, tapi akidah lebih penting. Dalam hal bermuamalah, boleh saja saling bekerjasama, tapi tidak sampai menodai akidah kita," ujar Baharun dalam sebuah kajian di Masjid Darussalam, Komplek Tugu Asri, Depok, Sabtu malam (14/1).
Yang jelas, Baharun merasa gagal memimpikan bersatunya Sunni-Syiah. Mengingat, sulit untuk menghapus doktrin yang sudah mendarah daging pada Syiah yang suka melaknat para sahabat Nabi dan istri-istrinya. Sunni memang tidak pernah mengatakan sahabat itu ma’sum, tapi bagi ahlu sunnah wal jamaah, Sahabat itu ‘Udul, proporsional, dan penerus kenabian,” papar Baharun.
Kata Baharun, bila kaum Syiah naik haji, mereka shalat sendiri-sendiri. Bahkan mereka tidak mau berjamaah dengan Sunni. Maka, bagaimana mungkin bisa dikompromikan. Sebagai contoh, ketika Sunni-Syiah duduk berjamaah. Ketika Sunni mendengar nama sahabat Rasulullah, maka akan menyebut radhiallahuanhu (ra), sementara di sebelahnya (Syiah) malah melaknat sahabat Rasulullah Saw, seperti Abubakar, Umar dan Utsman. Jadi bagaimana mungkin mempertemukan dua keyakinan yang memiliki perbedaan tajam itu.
Berbeda Akidah
Menurut Prof Baharun, doktrin Syiah itu sulit dikompromikan dengan Sunni. Karena perbedaan Sunni-Syiah, bukan lagi soal perbedaan khilafiyah, tapi sudah menyangkut akidah yang jauh sulit untuk dipertemukan. Sudah pernah dicoba disatukan, tapi memang tak bisa. “Saatnya kita membimbing keluarga kita untuk mengokohkan akidah yang benar, dan terhindar dari api neraka,” tandasnya.
Ketika ditanya, seorang Sunni bernama Syeikh Saltut, pernah mendekatkan Sunni-Syiah. Bagaimana pendapat Ustadz? Menjawab pertanyaan itu, Ustadz Baharun menjawab, pendapat Syaikh Saltut itu masih kabur. Boleh jadi, yang dimaksud Syeikh Saltut adalah Syiah Zaidiyah, karena memang Syiah Zaidiyah dekat dengan Aswaja (ahlu sunnah wal jamaah). Terlebih, Syiah Zaidiyah bisa menerima kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman. “Secara prinsip, Syiah Zaidiyah tidak berbeda dengan Aswaja.”
Menurut Baharun, pendapat Syeikh Saltut, tidak bisa dijadikan dasar pijakan. Boleh jadi pernyataan Syeikh Saltut, Syiah pada zamannya belum menjadi ancaman dan tantangan. Sampai saat ini Syiah terus mengalami transformasi, militansi Syiah terus dibangun di bawah tanah (underground). Untuk kita harus cerdas.
Harus diakui, kita terlalu melempem dengan sandiwara Syiah selama ini. Kita juga begitu lamban merespon Syiah, sementara jaringan mereka sudah semakin meluas kemana-mana. Sebagai contoh, di kampus-kampus, termasuk di kampus Muhammadiyah, telah didirikan Iran Center.
“Sudah saatnya kita mengetahui peta dan jaringan Syiah. Sudah saatnya pula, kita membentengi akidah umat Islam dari bahaya Syiah. Kalau Syiah menggap ahlusunnah itu benar, kenapa harus mencari sumber lain dari Syiah,” tukas Baharun.
Strategi untuk membendung bahaya Syiah, Ustadz Baharun mengatakan, tidak cukup hanya memberi stempel sesat, tapi harus merapatkan shaf, masalah furu tak perlu dipertentangkan. Yang kita lawan adalah akidah dulu. Sangat disayangkan, NU dan Muhamadiyah yang diharapkan menegakkan akidah, malah mengatakan bahwa Syiah dan Sunni itu sama-sama berakidah Islam. “Ironisnya lagi, kini banyak ulama yang diberangkatkan ke Iran, sepulang dari Iran, ulama itu malah membela Syiah.”
*Sumber : http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/01/16/17426/perbedaan-sunnisyiah-bukan-khilafiyahtapi-akidah-mustahil-disatukan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar